Rabu, 10 Oktober 2012

SEPARO SENYUM MENGGANTUNG Ada separo senyum menggantung di jendela Namun aku masih bertanya: “Siapa dia yang terlihat kamil di mayapada?” sebab sebongkah senyum itu memercikkan hati bagai bersanding batari Tidak hanya satu bahkan dua tiga waktu ku menerawangnya di jidar perbatasan antara pria dan wanita Senyumnya masih menggantung ku harap kini barisan gigi terlihat seperti brandy manis jika dinikmati Lambat laun senyum itu terlihat curna tak ku sangka si lelaki yang dikatakan kyai telah menjamahnya dengan renjana 2602011 Bojonegoro

KUMPULAN PUISI JUNIAR WULAN (KRS)

SEPERTI MALAM Seperti malam yang terhempas di pinggir kamar. Menimang-nimang sebuah perpanjangan waktu. Dan berlalu-lalang di antara pintu kamar yang terasa pilu, karena tak seorang pun yang menjamahnya dengan rayu. Aku tahu kau begitu menginginkan segelas susu yang dijual oleh para pedagang kaki lima di sebuah perkampungan yang disebut dengan prostitusi itu kan? Kalau memang iya, mengapa kau masih bersandar di pucuk malam yang haus kasih sayang. Mengapa sekarang kau tidak pergi menikmati malam dan memberi sentuhan dengan kata-kata picisan selama ini kau taburkan ke bulan dan awan yang kau anggap pembual? Ha, kenapa? Atau mungkin kau tak punya recehan? Benarkah itu? Atau bisa ku tebak kau kehabisan nafsu? Ah tak mungkin. Kau ini kan pecumbu yang kaya nafsu. Aku yakin kau hanya berpura-pura. Kau hanya ingin melabuhkan malam yang berjingkat sesaat. Supaya tercipta kerendahan dalam kedamaian. Ketenangan dalam kasih sayang Penghormatan dalam harga diri Benar kan? “Iya”. 151010 Surabaya Juniar_Wulan ILUMINASI Sudah ku bidik mata di ujung senja dan ku tancap mega membaur bersamanya. Bahkan mega itu menawarkan dirinya tanpa diminta. “Ini aku. Genggam tanganku. Gulung aku ke dalam mata-mata senja yang kesepian”. Dengan sigap, keceriaanku menggulung satu persatu gegana yang berayun di cakrawala. Sudah ku larutkan mata di pucuk senja berharap kau mau membawanya dalam rasian jiwa Menepi dan ingin berkata “Telusuri aku tuk dimadu” Saat itu kau tak pernah mau tahu. Ini kasih atau madu Ini bulan atau kupu-kupu Atau mungkin ini hanya iluminasi Sekadar membangkitkan bongkah mata yang mati suri di titik senja Saat itu ku baru tahu bahwa iluminasi akan selalu ada pada tiap senja yang merasa kehilangan cahaya Saat itu juga aku akan menganggukkan kepala seraya membenarkan kata-kata 171010 Surabya LELAKI RUMPUN KELU Dalam ruang berdinding ini aku bertanya. Namun, pertanyaanku ini tak pernah dijawab olehnya.Pertanyaan-pertanyaan aneh berkisah tentang lelaki sholeh. Berwajah manis dan penampilan modis. Tapi aku ragu, jangan-jangan ia rumpun lelaki kelu, yang hanya bisa mengucap kata jika disentuh saja. Bila begitu, aku ingin menyentuhnya sajalah biar mulutnya tak kaku dan wajahnya tak sendu dan ingin ku mainkan ia, jika memang benar-benar si rumpun lelaki kelu. Pilih yang mana ya? Ku biarkan atau ku permainkan. Ah...semua terasa aneh. Tak biasanya lelaki sholeh menampakkan dirinya sebagai awak kelu. Begini ni jika semua lelaki dikatakan lata oleh para wanita pemuja pria. Semua dianggap sama derajatnya. Bisa untuk gelitikan, pajangan, bahkan iuran arisan. Mana bisa begitu? Orang dalamnya saja kau tak pernah tahu. Bisa-bisanya kau ujar seperti itu. Begini saja, aku ingin tahu “Benarkah ia lelaki dalam rumpun kelu?” 171010 Surabaya JENJAM Seperti ibun yang menerpa wajah di kedamaian pagi. Melembabkan muka saat terdengar suara hati menggema di telinga. Aku ingin berlari mendekati bahana yang mengernyitkan dahi dan bertanya pada diri. “Siapakah yang bernyanyi?” Ku berdiri di kejauhan dan melihatnya di ujung pagi yang masih bersimpuh kedamaian. Ku dekati dan hatiku terasa jenjam. Tak pernah sebelumnya ku nikmati pagi seindah ini. Seakan membawa alam bawah sadarku terbang dan mulai terpikirkan. “Inilah aku. Penikmat jenjam yang tak pernah merasakan ketenangan di negeri orang” Bersama bahana itu, aku memulai pagi dengan menata diri dan membasuh hati yang pernah tergores oleh segenggam sikap tak bermanusiawi. Dan aku tak ingin mengingatnya namun juga tak ingin melupakannya. Karena kisah tak harus dipisahkan oleh sejarah. Dia hanya secuil peristiwa yang harus diambil hikmah dan dilesapkan dalam jiwa, karena kita tak bisa berbicara tanpa adanya pelajaran hidup yang nyata. Kini aku berani berkata, “Inilah aku, yang mulai tumbuh dengan segala cium bumiku, denga kesederhanaanku, dengan keikhlasanku di atas negeri yang selalu dibantai sana-sini. Namun aku tetap tak peduli. Aku ingin menjadi penguhini pertiwi”. 171010 Surabaya